Selasa, 05 Mei 2015

cincin palladium

Cerpen Cinta Terbaru Cincin Kawin

Untuk kita yang asli menggunakan bahasa Indonesia dapat langsung menikmati cerita sedih dalam cerpen tersebut dalam versi aslinya berikut ini. Sebagai syarat sebelum membaca cerita tersebut jangan lupa siapkan posisi senyaman mungkin dengan berbagai peralatan pendukung seperti cemilan dan minuman ringan kesukaan...

Dia masih memandang jejak putih di jari manisnya. Jejak berbentuk garis melingkar yang berwarna lebih putih dibandingkan kulit coklatnya. Jejak itu ditinggalkan oleh sebentuk cincin yang pernah melingkari jari manisnya itu. Sebentar di ruangan yang hanya terdengar suara berita dari televisi itu terdengar hela nafasnya. Sepertinya dia benar-benar merasa kehilangan.

"Apa perlu kita gadaikan dulu Bu, cincin ini?" Ditatapnya lekat mata istrinya yang sejak tadi mengeluh tentang beras yang sudah habis, susu anak yang belum terbeli, dan tagihan yang menumpuk di atas meja. Hanya itu usul yang tercetus setelah dia berpikir keras tentang cara mendapatkan uang untuk memenuhi keluhan Sang Istri.

"Janganlah Pak. Hanya itu satu-satunya perhiasan yang kita punya. Lagipula itu 'kan cincin pernikahan. Tidak baik jika digadaikan." Sebenarnya dia juga tidak tega jika tanda pernikahan mereka tak lagi terpasang di tempatnya. Di jari manis tangan kanan suaminya. Keduanya masih muda. Umur tigapuluhan. Wajah suaminya, meskipun biasa-biasa saja, tapi masih terlihat muda. Wajar jika ia bisa dikira masih bujangan.

"Tapi Bu? Kita sudah sangat terdesak. Besok orang bank pasti sudah datang menagih hutang."

Akhirnya dari mulut mungil Si Istri terdengar kalimat pendek tanda pasrah. Dia juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi kondisi ekonomi rumah tangganya. Sejak dia hamil dan sering terjadi pendarahan, suaminya menyarankan agar dia berhenti bekerja dan total menjadi ibu rumah tangga. Sejak itu pula dia hanya bergantung pada penghasilan suaminya.

"Terserah Bapak sajalah."

Maka pada pagi harinya, sebelum sampai di kantor, dia datang ke pegadaian. Dipandanginya flag chain di dalam ruangan berwarna hijau itu yang bertulisan "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah." Di bibirnya tiba-tiba tersungging sebuah senyuman. Betulkah ada masalah yang bisa selesai tanpa menimbulkan masalah lain? Apakah sebuah ketenangan setelah membayar hutang dengan berhutang bukan sebuah masalah? Dia tahu benar bahwa setelah pergi ke tempat ini, dia harus segera mencari pekerjaan sampingan atau mengirimkan puisi dan cerita pendek ke berbagai surat kabar agar mendapat uang guna mengambil kembali barang jaminan.

Tapi ini kali pertama dia ke pegadaian. Dengan cermat dia memperhatikan bagaimana cara seorang meminjam uang. Dia mengikuti apa yang dilakukan oleh seorang di depan dia yang menuliskan sesuatu pada sebuah formulir dari kertas fotokopian di sebuah meja kecil. Dan tak lama sesudahnya, ia pun ikut-ikutan menyerahkan form dan cincin kawinnya pada seorang petugas di pojok kanan meja layanan. Lalu dengan cemas memandang jam dinding yang telah menunjukkan pukul delapan lebih, dia duduk di antara kerumunan ibu-ibu yang entah menunggu apa.

Sekali lagi dia menghela nafas panjang. Ada semacam kelegaan karena tak lama kemudian orang yang tadi berada di depan dia sudah dipanggil untuk ditaksir jumlah pinjamannya. Pasti tak lama lagi, pikirnya. Dan benar juga, dia pun akhirnya dipanggil.

"Tujuh ratus ribu, ya Pak?"

Dia sedikit terkejut. Antara mengerti bahwa cincin kawinnya ditaksir senilai tujuh ratus ribu dan sedih karena cincin yang dulu dibelinya seharga satu juta lima ratus ribu hanya dihargai segitu saja. Tapi dia tidak punya pilihan, uang sebanyak tujuhratus ribu sudah cukup untuk membayar tagihan, membeli sekaleng susu, dan 10 kilogram beras.

"Ya," tukasnya cepat dan pendek seketika dia tersadar dari kemelut pikiran di dalam kepalanya.

"Sisanya tiga ratus ribu, Bu."

Di depan istrinya, dia menyerahkan enam lembar pecahan limapuluh ribu ke tangan istrinya. Istrinya tampak kecut. Dia mengira istrinya tidak bisa terima dengan upayanya.

"Kamu kenapa, Bu?" Dia mencoba mencairkan suasana.

"Tidak ada apa-apa." Pendek saja jawabnya. Dia berpikir keras apa yang sedang dipikirkan istrinya terhadap dia setelah dia menggadaikan cincin kawin itu.

"Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan kamu dan anakmu." Dia berusaha menyentuh perasaan istrinya dengan kalimat-kalimat yang tampak pasrah.

Istrinya tetap tidak menjawab. Yang dilakukannya adalah menyimpan uang itu di lemari, dan segera menyusul anaknya yang tertidur di kamar.

Dia kembali menghela nafas. Membuka kemejanya dan melangkah ke arah belakang. Mandi.

Seorang gadis duduk di sebelahnya di bus kota. Gadis yang manis. Rambutnya yang panjang tergerai sesekali menerpa pipi, leher dan pundaknya karena tertiup angin. Menyisakan wangi entah syampu atau sejenis vitamin rambut. Dia menoleh ke arah gadis itu.

"Maaf," gadis itu segera merapikan rambutnya. Mengikatnya ekor kuda.

"Tidak mengapa," jawabnya pendek. Dalam hatinya dia menyukai wangi yang terhirup olehnya. Dia begitu ingin menciumnya lagi. Diliriknya gadis itu baik-baik. Memang cantik, pikirnya. Jemari tangan kirinya menyentuh jari manisnya. Kosong. Tidak ada cincin kawin di situ.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar