Untuk kita yang asli menggunakan bahasa Indonesia dapat langsung
menikmati cerita sedih dalam cerpen tersebut dalam versi aslinya berikut
ini. Sebagai syarat sebelum membaca cerita tersebut jangan lupa siapkan
posisi senyaman mungkin dengan berbagai peralatan pendukung seperti
cemilan dan minuman ringan kesukaan...
Dia masih memandang jejak putih di jari manisnya. Jejak berbentuk garis
melingkar yang berwarna lebih putih dibandingkan kulit coklatnya. Jejak
itu ditinggalkan oleh sebentuk cincin yang pernah melingkari jari
manisnya itu. Sebentar di ruangan yang hanya terdengar suara berita dari
televisi itu terdengar hela nafasnya. Sepertinya dia benar-benar merasa
kehilangan.
"Apa perlu kita gadaikan dulu Bu, cincin ini?" Ditatapnya lekat mata
istrinya yang sejak tadi mengeluh tentang beras yang sudah habis, susu
anak yang belum terbeli, dan tagihan yang menumpuk di atas meja. Hanya
itu usul yang tercetus setelah dia berpikir keras tentang cara
mendapatkan uang untuk memenuhi keluhan Sang Istri.
"Janganlah
Pak. Hanya itu satu-satunya perhiasan yang kita punya. Lagipula itu 'kan
cincin pernikahan. Tidak baik jika digadaikan." Sebenarnya dia juga
tidak tega jika tanda pernikahan mereka tak lagi terpasang di tempatnya.
Di jari manis tangan kanan suaminya. Keduanya masih muda. Umur
tigapuluhan. Wajah suaminya, meskipun biasa-biasa saja, tapi masih
terlihat muda. Wajar jika ia bisa dikira masih bujangan.
"Tapi Bu? Kita sudah sangat terdesak. Besok orang bank pasti sudah datang menagih hutang."
Akhirnya
dari mulut mungil Si Istri terdengar kalimat pendek tanda pasrah. Dia
juga sudah tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi kondisi ekonomi
rumah tangganya. Sejak dia hamil dan sering terjadi pendarahan, suaminya
menyarankan agar dia berhenti bekerja dan total menjadi ibu rumah
tangga. Sejak itu pula dia hanya bergantung pada penghasilan suaminya.
"Terserah Bapak sajalah."
Maka
pada pagi harinya, sebelum sampai di kantor, dia datang ke pegadaian.
Dipandanginya flag chain di dalam ruangan berwarna hijau itu yang
bertulisan "Menyelesaikan Masalah Tanpa Masalah." Di bibirnya tiba-tiba
tersungging sebuah senyuman. Betulkah ada masalah yang bisa selesai
tanpa menimbulkan masalah lain? Apakah sebuah ketenangan setelah
membayar hutang dengan berhutang bukan sebuah masalah? Dia tahu benar
bahwa setelah pergi ke tempat ini, dia harus segera mencari pekerjaan
sampingan atau mengirimkan puisi dan cerita pendek ke berbagai surat
kabar agar mendapat uang guna mengambil kembali barang jaminan.
Tapi
ini kali pertama dia ke pegadaian. Dengan cermat dia memperhatikan
bagaimana cara seorang meminjam uang. Dia mengikuti apa yang dilakukan
oleh seorang di depan dia yang menuliskan sesuatu pada sebuah formulir
dari kertas fotokopian di sebuah meja kecil. Dan tak lama sesudahnya, ia
pun ikut-ikutan menyerahkan form dan
cincin kawinnya pada seorang
petugas di pojok kanan meja layanan. Lalu dengan cemas memandang jam
dinding yang telah menunjukkan pukul delapan lebih, dia duduk di antara
kerumunan ibu-ibu yang entah menunggu apa.
Sekali lagi dia
menghela nafas panjang. Ada semacam kelegaan karena tak lama kemudian
orang yang tadi berada di depan dia sudah dipanggil untuk ditaksir
jumlah pinjamannya. Pasti tak lama lagi, pikirnya. Dan benar juga, dia
pun akhirnya dipanggil.
"Tujuh ratus ribu, ya Pak?"
Dia
sedikit terkejut. Antara mengerti bahwa cincin kawinnya ditaksir senilai
tujuh ratus ribu dan sedih karena cincin yang dulu dibelinya seharga
satu juta lima ratus ribu hanya dihargai segitu saja. Tapi dia tidak
punya pilihan, uang sebanyak tujuhratus ribu sudah cukup untuk membayar
tagihan, membeli sekaleng susu, dan 10 kilogram beras.
"Ya," tukasnya cepat dan pendek seketika dia tersadar dari kemelut pikiran di dalam kepalanya.
"Sisanya tiga ratus ribu, Bu."
Di depan istrinya, dia
menyerahkan enam lembar pecahan limapuluh ribu ke tangan istrinya.
Istrinya tampak kecut. Dia mengira istrinya tidak bisa terima dengan
upayanya.
"Kamu kenapa, Bu?" Dia mencoba mencairkan suasana.
"Tidak
ada apa-apa." Pendek saja jawabnya. Dia berpikir keras apa yang sedang
dipikirkan istrinya terhadap dia setelah dia menggadaikan cincin kawin
itu.
"Maafkan aku, Bu. Aku belum bisa membahagiakan kamu dan
anakmu." Dia berusaha menyentuh perasaan istrinya dengan kalimat-kalimat
yang tampak pasrah.
Istrinya tetap tidak menjawab. Yang
dilakukannya adalah menyimpan uang itu di lemari, dan segera menyusul
anaknya yang tertidur di kamar.
Dia kembali menghela nafas. Membuka kemejanya dan melangkah ke arah belakang. Mandi.
Seorang gadis duduk di sebelahnya di bus kota. Gadis yang manis.
Rambutnya yang panjang tergerai sesekali menerpa pipi, leher dan
pundaknya karena tertiup angin. Menyisakan wangi entah syampu atau
sejenis vitamin rambut. Dia menoleh ke arah gadis itu.
"Maaf," gadis itu segera merapikan rambutnya. Mengikatnya ekor kuda.
"Tidak
mengapa," jawabnya pendek. Dalam hatinya dia menyukai wangi yang
terhirup olehnya. Dia begitu ingin menciumnya lagi. Diliriknya gadis itu
baik-baik. Memang cantik, pikirnya. Jemari tangan kirinya menyentuh
jari manisnya. Kosong. Tidak ada
cincin kawin di situ.